Pengalaman Kuliah Di Magister Ilmu Perencanaan Wilayah IPB (Bagian 2)

Tidak terasa saya sudah menjadi bagian dari keluarga mahasiswa PWL IPB selama 2 semester alias 1 tahun, mungkin setengah perjalanan dari yang diharapkan di sini sudah dilalui dengan berbagai suka dukanya. Dan bagi saya akan selalu menjadi momen personal karena nuansa dan tantangannya berbeda dengan teman-teman seangkatan 2016 yang lain, saya harus menjalani dan memenuhi kewajiban kuliah sambil juga pada saat bersamaan harus memenuhi kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga, itu adalah tantangan tidak mudah yang sudah merupakan pilihan dan takdir hidup. Dalam dua semester ini alhamdulillah keduanya bisa dicapai dengan luar biasa!

Dalam semester kedua, mata kuliah yang diambil sudah bervariasi di mana ada yang merupakan mata kuliah wajib prodi serta pilihan yang di antaranya bukan berasal dari prodi PWL. Pada momen inilah teman-teman seangkatan PWL 2016 sudah tidak bareng-bareng lagi kuliahnya, karena pada mata kuliah pilihan mempunyai pilihan yang berbeda-beda sesuai dengan minatnya masing-masing. Kuliah bareng hanya pada mata kuliah wajib prodi. Kombinasi mata kuliah yang saya ambil di semester ini adalah :
MK Wajib : Sistem Ekonomi Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Lahan, Metode Penelitian Spasial
MK Pilihan : Perencanaan Penggunaan Lahan dan Kebijakan Pertanahan, Perencanaan Partisipatif, Teknik Evaluasi Ekonomi Sumber Daya Wilayah.
Total yang saya ambil adalah 15 SKS, teman-teman seangkatan lain ada yang hanya 12 SKS namun ada juga yang 18 SKS.

Pertimbangan saya dalam pemilihan mata kuliah pilihan adalah, saya memperhatikan bahwa mungkin karena prodi PWL di bawah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan (DITSL), hampir semuanya menitik beratkan pada pembahasan aspek fisik, kuantitatif, dan ekonomi wilayah khususnya di semester 1, sehingga pada semester ke 2 saya memutuskan untuk ingin merasakan dan mencoba rasa atau 'taste' lain dalam membicarakan perencanaan dan pengembangan wilayah, ingin mencoba 'keseimbangan' lain dalam cara pandang terhadap wilayah, yaitu dari aspek sosial kemasyarakatannya, itulah kenapa saya akhirnya memilih kebijakan pertanahan dan perencanaan partisipatif yang diisi oleh dosen dari luar prodi khususnya sosiologi (fema).

Dan benar saja, ketika mata kuliah lain asyik dengan tarian-tarian berirama fisik dan ekonomi dalam melihat persoalan di suatu wilayah, kedua mata kuliah pilihan tadi menjadi "breakthrough", kuliah tersebut di tengah jalan menyadarkan saya bahwa faktor manusia yang ada di wilayah juga penting dan krusial untuk dijadikan kunci melihat persoalan wilayah. Aspek sosial sama pentingnya dengan aspek lain bahkan mungkin pada beberapa hal secara subyektif terlihat menjadi kunci yang lebih penting pada perencanaan dan pembangunan wilayah. 

Misalnya saya menjadi disadarkan tentang sejarah kepemilikan dan status tanah/lahan negara Indonesia ini, bahwa segala persoalan yang berkaitan dengan lahan di negara ini tidak bisa dilepaskan dari 'kesalahan' fondasi sejarah kebijakan pertanahan dulu (kebijakan agraria), saya disadarkan tentang pentignya hak-hak atas tanah, bagaimana hak-hak rakyat termarjinalkan di tanahnya sendiri, dan diingatkan pentinya jangan sampai 'buta huruf agraria'. Semua itu diterangkan dengan gamblang, kronologis, dan begitu meliuk-liuknya penuh semangat oleh pakar dan sesepuh agraria Prof. Endriatmo Soetarto. Beliau mengatakan bahwa sampai saat ini yaitu sampai telah berkali-kalinya berganti kepemimpinan negara ini, sampai detik ini, belum ada pemimpin yang betul-betul berani memecah kebuntuan (kesalahan sejarah kebijakan agraria tadi), sehingga persoalan konflik tanah/agraria/ruang selalu menjadi ruwet, politis, dan penuh intrik. Sehingga Bangsa ini belum menjadi citizen state, masih people state. Tanah masih dianggap sebagai komoditas ekonomi, salah kalau manusia dimarjinalkan (dipisahkan) dari tanahnya, karena hubungan antara manusia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan hakiki. Begitu kata Prof. Amo (panggilan beliau).

Cerita menarik lain saya dapat dari kuliah perencanaan partisipatif, masih di seputar pentignya aspek sosial dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Ada kisah di mana kakak kelas kami di PWL melakukan penelitian terkait kesesuaian potensi untuk peternakan di suatu wilayah, sudah bagus, sampai ke tahap sidang dan di forum itu muncul pertanyaan tenang status lahan yang direncanakan. Ternyata lahan itu merupakan lahan adat yang bersengketa, sehingga perencanaan sebaik apapun sulit diimplementasikan di sana. 

Ilustrasi itu kembali menyadarkan bahwa entri point dalam melihat permasalahan wilayah jangan sampai melupakan aspek sosial, hukum, budaya, dll. Walaupun tentu saja aspek fisik dan ekonomi juga penting. Partisipatif melihat wilayah berisi beragam karakteristik masyarakat, struktur sosial, norma dan budaya yang beragam, berbagai golongan masyarakat dari yang terendah sampai tertinggi misal secara ekonomi, pendidikan dll., yang kesemuanya itu punya peran masing-masing yang penting dalam perkembangan wilayah. Karena pada intinya pembangunan itu ditujukan untuk semua golongan orang di suatu wilayah. Pembangunan itu haru memanusiakan manusia, bisa melibatkan semua pihak dengan berbagai karakteristiknya dan pada praktiknya itu adalah sesuatu yang sangat-sangat sulit apalagi dalam konteks pembangunan Indonesia yang sangat birokratis dan teknis. Tapi itulah tantangannya karena jika jeli ada saja celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk diakuinya peran serta masyarakat dalam pembangunan dan bisa memberdayakan masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan. Banyak juga cerita-cerita dalam kuliah yang membuat semakin menarik bahwa posisi masyarakat dalam pembangunan (skala mikro misalnya) tidak bisa dianggap enteng.

Mata kuliah lain yang paling khas adalah Pengelolaan Sumber Daya Lahan, yang merupakan wajib di Ilmu Tanah. Walaupun bobotnya 2 SKS, namun karena yang mengajar adalah 6 orang pakar baik itu profesor ataupun doktor di bidang tanah dan pengelolaan lahan, maka rasanya seperti 6 SKS. Saya dan sebagian teman-teman (juga dari prodi lain karena kuliahnya digabung) yang tidak berlatarbelakang ilmu tanah ataupun fisik lahan, sangat terasa berat menjalani kuliah ini tapi memang dari sisi wawasan sangat penting. Rata-rata nilai akhirnya tidak terlalu mengecewakan.

Yang spesial lainnya adalah adanya field trip ke Yogyakarta (tidak sama untuk setiap angkatan), yang pada intinya melihat suka dukanya para pelaksana kebijakan pembangunan di daerah dan juga kelembagaan masyarakat yang berjalan dengan baik bahkan secara ekonomis mandiri dan berkelanjutan, apa tantangan yang mereka hadapi dan bagaimana mereka menyelesaikannya dan baik untuk semua pihak. Dilaksanakan pertengahan Mei 2017, hampir semua dosen prodi PWL ikut, dan mahasiswa yang ikut adalah angkatan 2016 gabungan baik reguler maupun kelas khusus, sehingga kegiatan ini juga merupakan momen untuk memperkuat keakraban mahasiswa PWL dan dosen, dan sedikit penyegaran di sela-sela kegiatan perkuliahan yang padat. Kami mengunjungi Bappeda Prov DIY, Stasiun Penelitian BIG di Parangtritis, Bappeda Kulonprogo, Kelompok Masyarakat Wisata Kalibiru, Pengelola Candi Borobudur, Desa/Agropolitan Sewukan (Magelang), dll.

Mungkin itu yang menurut saya menarik di semester 2 kuliah magister PWL IPB, karena untuk mata kuliah lain semuanya masih membahas seputar fisik lahan dan ekonomi wilayah. Di semester ini juga sudah diharuskan membuat proposal penelitian. Beruntung saya juga bisa bergabung dengan teman-teman di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB sehingga antara apa yang di dapat di kuliah PWL dan implementasinya di lapangan, keduana bisa saya dapatkan dan itu adalah sesuatu yang 'maknyus'. Bravo PWL IPB.

Mahasiswa Magister PWL 2016 reguler, minus mas Anam :-)

Photo session kuliah terakhir kebijakan pertanahan with Prof. Endriatmo Soetarto

Momen senyum bersama selepas field trip lokal Ciapus - Ciampea (Bogor), Mei 2017

Bersama Prof. Santun Sitorus di Kalibiru dalam Fieldtrip PWL 2016

Comments